JEBAKAN PASAL 1320 KUHPERDATA: MENGAPA KEABSAHAN LISAN TIDAK CUKUP MELINDUNGI ANDA DARI SENGKETA
Hukum Perikatan
Ilham Ramadhan, S.H., CPM.
11/8/20253 min read


Dalam interaksi sosial dan bisnis sehari-hari, kesepakatan sering kali terwujud melalui janji dan ucapan yang diikat secara lisan. Hal ini didasari oleh kepercayaan dan kepraktisan. Namun, bagi masyarakat awam, sering muncul pertanyaan mendasar: apakah perjanjian lisan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian tertulis? Hukum perjanjian di Indonesia, yang berlandaskan pada asas konsensualisme, memang mengakui keabsahan perjanjian lisan. Meskipun demikian, kepastian hukum sejati tidak hanya terletak pada pengakuan, melainkan pada kemampuan pembuktian saat terjadi sengketa. Artikel ini bertujuan mengupas tuntas kedudukan hukum perjanjian lisan, menganalisis kelemahannya, dan menegaskan mengapa bentuk tertulis (kontrak) menjadi instrumen yang sangat vital untuk menjamin kepastian hukum.
Landasan utama hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya pada Buku III tentang Perikatan. Secara filosofis, hukum perjanjian kita sangat menjunjung tinggi asas konsensualisme. Asas ini berarti bahwa suatu perjanjian telah lahir dan sah secara hukum sejak tercapainya kata sepakat antara para pihak, tanpa harus menunggu adanya bentuk atau formalitas tertentu.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu: adanya kesepakatan dan kecakapan (syarat subjektif), serta mengenai hal tertentu dan sebab yang halal (syarat objektif). Selama keempat syarat ini terpenuhi, bentuk lisan sekalipun telah melahirkan hubungan hukum yang mengikat. Perjanjian lisan yang sah ini kemudian tunduk pada prinsip fundamental Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata atau Pacta Sunt Servanda, yang menyatakan perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hanya perjanjian-perjanjian tertentu yang secara tegas diwajibkan undang-undang untuk tertulis (perjanjian formil), seperti perjanjian pengalihan hak atas tanah, yang jika tidak tertulis akan batal demi hukum.
Meskipun secara substantif hukum mengakui keabsahan perjanjian lisan, kelemahan krusialnya muncul saat perjanjian tersebut diuji di ranah hukum acara, yakni pada tahap pembuktian. Kekuatan pembuktian (Rechtmatig Bewijskracht) menjadi kunci utama. Pihak yang merasa dirugikan wajib membuktikan adanya dan isi perjanjian tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata.
Karena tidak ada dokumen tertulis, perjanjian lisan hanya dapat dibuktikan dengan alat bukti non-surat, terutama keterangan saksi. Dalam hukum perdata, alat bukti saksi memiliki nilai yang rentan. Keterangan saksi mudah dipengaruhi, rawan subjektivitas, dan mudah dilupakan seiring waktu, menciptakan risiko ketidakpastian hukum yang tinggi. Selain itu, prinsip Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi) yang tercantum dalam Pasal 1905 KUHPerdata menuntut minimal dua saksi atau satu saksi yang didukung alat bukti lain, suatu beban pembuktian yang sulit dipenuhi.
Kelemahan ini terbukti nyata dalam proses peradilan. Sebagai contoh, merujuk pada kasus-kasus sengketa wanprestasi yang sering terjadi, seperti yang terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor: 84/Pdt.G/2022/PN Yyk dan kasus serupa. Seringkali, Penggugat (Kreditor) menggugat Tergugat (Debitor) atas dasar utang piutang lisan, hanya mengandalkan kesaksian atau bukti permulaan (seperti screenshot percakapan).
Dalam kasus-kasus tersebut, meskipun Penggugat menunjukkan bukti transfer atau chat komunikasi, majelis hakim sangat berhati-hati. Keterangan saksi dinilai tidak memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mudah disangkal oleh pihak Tergugat. Mahkamah Agung atau Pengadilan sering kali memutuskan menolak gugatan (dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard / NO atau ditolak seluruhnya). Alasannya bukan karena perjanjiannya batal, melainkan karena Penggugat gagal memenuhi beban pembuktian untuk membuktikan secara meyakinkan dan terperinci mengenai isi dan syarat perjanjian lisan yang menjadi dasar gugatannya. Kekalahan dalam kasus perjanjian lisan terjadi karena ketiadaan bukti formil yang kuat, bukan karena perjanjian itu sendiri tidak sah.
Melihat risiko kerentanan hukum dan kegagalan pembuktian yang melekat pada perjanjian lisan, solusi hukum yang mutlak direkomendasikan adalah perjanjian tertulis (kontrak). Bentuk tertulis berfungsi ganda: sebagai sarana edukasi yang menciptakan kejelasan hak dan kewajiban sejak awal, dan sebagai perisai hukum yang sempurna saat terjadi sengketa.
Perjanjian tertulis memberikan Kepastian Hukum yang tinggi karena menyediakan alat bukti surat, yang memiliki nilai pembuktian tertinggi di pengadilan. Terdapat dua jenis utama perjanjian tertulis:
Akta di Bawah Tangan: Dibuat dan ditandatangani oleh para pihak sendiri. Kekuatan pembuktiannya kuat, tetapi masih dapat disangkal keabsahan tanda tangannya.
Akta Otentik: Dibuat di hadapan atau oleh Pejabat Umum (Notaris). Akta ini memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Hakim wajib menganggap benar semua yang tercantum di dalamnya, kecuali dibuktikan sebaliknya.
Perjanjian lisan, meskipun sah berdasarkan asas konsensualisme, ibarat rumah tanpa fondasi yang kokoh. Ia rapuh dan tidak berdaya saat dihadapkan pada sengketa hukum di pengadilan. Keabsahan perjanjian lisan saja tidak cukup; kekuatan pembuktian adalah kunci utama untuk memenangkan sengketa dan melindungi hak. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai ekonomi dan integritas hubungan hukum, setiap kesepakatan penting, terutama yang bernilai material, jangka panjang, atau kompleks, wajib dituangkan dalam bentuk tertulis. Perjanjian tertulis bukan hanya formalitas, melainkan tindakan preventif yang esensial untuk menjamin kejelasan, kepastian, dan perlindungan hukum yang maksimal.