KPR MANA YANG LEBIH AMAN? ANALISIS PERBEDAAN AKAD, EKSEKUSI JAMINAN, DAN RISIKO LITIGASI DI PENGADILAN

Hukum Property

Ilham Ramadhan, S.H., CPM.

11/8/20253 min read

Kepemilikan properti merupakan salah satu tonggak finansial terpenting dalam kehidupan seseorang, dan mayoritas dicapai melalui fasilitas pembiayaan perumahan. Di Indonesia, masyarakat dihadapkan pada dua model utama yang memiliki landasan legalitas berbeda: Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Konvensional dan KPR Syariah. Meskipun keduanya bertujuan memfasilitasi kepemilikan aset, perbedaan mendalam pada aspek akad menciptakan lanskap risiko hukum yang sangat berbeda dan perlu dipahami secara mendalam.

Perbedaan risiko hukum antara KPR Konvensional dan Syariah berakar pada perbedaan landasan regulasi yang mereka gunakan. KPR Konvensional diatur oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Asas dasarnya adalah kredit atau pinjaman dengan bunga (interest). Hubungan antara bank dan nasabah adalah murni Kreditor-Debitor. Jaminan atas properti diikat melalui Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996), yang memberikan hak preferen dan hak eksekusi pertama kepada bank, melindungi bank sebagai pemberi pinjaman.

KPR Syariah tunduk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, diperkuat oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akad yang sering digunakan adalah Murabahah (jual beli, dengan margin keuntungan tetap) atau Musyarakah Mutanaqishah (MMq) (sewa beli dengan kepemilikan bertahap). Dalam akad Murabahah, bank bertindak sebagai penjual, dan nasabah sebagai pembeli. Meskipun demikian, KPR Syariah juga tetap dijamin oleh Hak Tanggungan, memastikan bank memiliki perlindungan yang sama kuatnya atas aset tersebut.

Perbedaan akad ini menghasilkan tiga area risiko hukum yang krusial bagi debitur:

1. Risiko Volatilitas Biaya dan Keadilan Kontrak

  • Pada KPR Konvensional, Risiko Suku Bunga Mengambang (Floating Rate) menjadi perhatian utama. Risiko hukum timbul jika kenaikan suku bunga dilakukan secara sepihak atau klausul perubahan suku bunga (unilateral amendment) dianggap merugikan konsumen, memicu sengketa wanprestasi. Denda keterlambatan dihitung berdasarkan persentase tunggakan yang sering dianggap sebagai keuntungan bagi bank.

  • Pada KPR Syariah, Kepastian Margin Tetap (khususnya Murabahah) memberikan keuntungan karena margin keuntungan bank ditetapkan tetap hingga akhir tenor. Risiko legal terkait fluktuasi biaya hampir nol. Untuk denda keterlambatan (disebut Ta'widh), ia hanya boleh dihitung sebagai ganti rugi biaya riil yang ditanggung bank akibat kelalaian nasabah, sehingga risiko hukumnya fokus pada transparansi penetapan kerugian riil tersebut.

2. Risiko Prosedur Eksekusi dan Yurisdiksi Sengketa

Mekanisme penyelesaian sengketa KPR Syariah memiliki kerumitan yurisdiksi yang spesifik:

  • Eksekusi Konvensional (Pengadilan Negeri): Jika nasabah gagal bayar, sengketa masuk ke Pengadilan Negeri sebagai sengketa perdata biasa. Proses eksekusi Hak Tanggungan relatif standar.

  • Eksekusi Syariah (Pengadilan Agama): Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Syariah dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012, sengketa yang timbul dari perjanjian KPR Syariah secara eksklusif menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Bank syariah yang keliru mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri akan menghadapi gugatan yang Niet Ontvankelijke Verklaard (tidak dapat diterima), karena Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili. Hal ini memerlukan pemahaman advokat terhadap hukum perdata dan hukum ekonomi syariah yang berbeda.

1. Risiko Pelunasan Dipercepat dan Pemutusan Kontrak

  • Pelunasan Dipercepat (Konvensional): Bank mengenakan penalti (prepayment penalty) karena hilangnya potensi pendapatan bunga bank. Risiko legal terjadi jika penalti dianggap terlalu tinggi dan tidak adil.

  • Pelunasan Dipercepat (Syariah - Murabahah): Karena ini akad jual beli, pelunasan dipercepat berimplikasi pada pemberian Diskon (Rebate) atas sisa margin yang belum dibayarkan nasabah. Risiko hukum muncul jika bank tidak transparan atau enggan memberikan diskon yang layak atas pelunasan yang dipercepat.

Untuk memitigasi risiko hukum, perlindungan konsumen menjadi kunci, terutama dalam klausul kontrak.

2. Perlindungan pada Konvensional

Nasabah harus aktif memastikan klausul floating rate mencantumkan batasan kenaikan bunga yang jelas dan wajar, serta memastikan penalti pelunasan dipercepat tidak terlalu memberatkan, sesuai dengan prinsip itikad baik dalam KUHPerdata.

3. Perlindungan pada Syariah

Nasabah harus memastikan bahwa akad yang digunakan (misalnya Murabahah atau MMq) dipahami secara utuh, dan terdapat klausul yang jelas mengenai mekanisme perhitungan Ta'widh (denda) dan mekanisme Rebate (diskon) jika terjadi pelunasan dipercepat, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI.

KPR Konvensional dan KPR Syariah, masing-masing, memiliki keunggulan risiko. KPR Konvensional menawarkan sistem legal yang sudah mapan namun rentan terhadap risiko suku bunga mengambang yang dapat memicu sengketa keadilan kontrak. Sementara KPR Syariah menawarkan kepastian biaya melalui margin tetap, namun membawa risiko kompleksitas litigasi karena harus tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Agama.

Memahami akar perbedaan akad, yurisdiksi pengadilan, dan konsekuensi biaya adalah prasyarat mutlak bagi calon pemilik properti. Keputusan yang tepat tidak hanya didasarkan pada besaran cicilan, tetapi pada kemampuan mengelola dan memitigasi risiko legal yang melekat pada pilihan pembiayaan tersebut.

Share to Whatsapp